Kamis, 05 Juni 2008

Peri Bontel & Tuan Murakami

Peri Bontel meneruskan langkahnya.
Tiba-tiba pantai ini menjadi tempat yang luas, jalan yang tak berujung.
Langit masih berwarna keemasan.
Neptunus sedang tertidur, kelelahan mengikuti langkah Peri Bontel
Semakin berat dirasa punggunngnya menanggung beban ransel itu
Boomerangnya belum juga kembali, dan hullahoop sedang enggan untuk berputar.

Tiba-tiba dari kejauhan ada Peri yang berlari-lari menuju kearahnya.
Peri Bontel kebingungan,
Apakah dia mencariku? Bisik peri bontel, pada bontel-bontel kecil dihatinya.
Semakin mendekat, wajah peri kurus yang menggunakan celana pendek itu menghampirinya.
Wajahnya memerah karena kepanasan, matanya hilang dibalik kerang cokelat transparan yang menempel diwajahnya dan rambut hitam yang panjang menyentuh pasir pantai.
Peri yang unik. Pikir Peri Bontel
“Peri Bonter?”
Peri Bontel menggelembungkan pipinya tanda aneh
“Kau Peri Bonter?”
Peri Bontel menggeleng
“Tapi Neptunus birang, jika ada peri kecir berjaran di tepi pantai, berarti dia peri bonter”
Peri Bontel menggaruk rambutnya. Ia tidak mengerti
“Beturkah kau Peri Bonter?”
Lalu sambil memilin-milin ekornya, Peri Bontel mulai bersuara
“Aku Bontel.Kau salah”
“Yaa..Kau Bonter”
Peri Bontel memicingkan matanya. Peri Ceking yang membingungkan
“BONTEL” teriak Peri Bontel kencang
Peri Ceking itu tertawa, dan Peri Bontel menatapnya tak percaya.
“Aku tau namamu seperti yang kau sebutkan tadi, tapi aku tidak bisa mengucapkan huruf akhir dinamamu”
“Kenapa?”
“Di tempat rarihku, tidak ada huruf itu”
Peri Bontel memandang Peri Ceking kagum.
Dia pasti dari sebuah Planet yang jauh denganku, pikir Peri Bontel
“Namamu siapa?”
“Murakami”
“Muratmarit?”
“Bukan, tapi Murakami”
Ah, nama yang baru terdengar buat Peri Bontel. Dia hampir melompat kegirangan mempunyai satu nama baru yang akan ia simpan dikotak nama kawan-kawannya.
“Namamu bagus, aku suka namamu”
Murakami bercerita tentang tempat asalnya dan mengapa ia terdampar di pantai ini. Peri Bontel menyukai kata-kata yang Murakami ucapkan. Semuanya terdengar baru ditelinganya, dan meskipun ada banyak kata-kata yang tidak ia mengerti ketika Murakami mengatakannya, Peri Bontel tetap mengangguk-anggukan kepalanya dengan semangat.
“Jadi Tuan Murakami sedang mencari ujung pelangi yang akan menyambungkannya ke rumah Tuan?”
Murakami mengangguk.
Peri Bontel berpikir keras, belum pernah selama ini ia melihat ujung pelangi. Seperti apa wujudnya pun ia tidak tau.
“Neptunus bilang,Peri Bonter adalah Peri yang memiriki pantai ini”
Peri Bontel tersipu-sipu. Pantai ini suakanya. Biasanya para peri menyukai pantai dengan pasir berwarna putih dengan ombak yang tenang, tapi Peri Bontel lebih menyukai pantai yang memiliki ombak yang saling berkejaran dengan cepat dan pasir yang berwarna hijau.
Sambil melihat kearah langit, mengharapkan ujung dari pelangi, Tuan Murakami mengeluarkan sebuah kotak kayu dari saku celananya. Ketika kotak itu dibuka, terlihat sinar terang yang sangat bergemerlapan
“Apa itu?” Tanya Bontel
Murakami menjelaskan bahwa itu adalah potongan matahari yang ia simpan. Murakami memerlukannya ketika ia merasa sedih dan hatinya terasa dingin. Kemudian Murakami memotong matahari itu sedikit, dan memasukannya kedalam mulut dan mulai mengunyahnya.
“Tuan memakan Matahari?”
Murakami mengiayakan pertanyaan Bontel dengan tersenyum.
Bontel kembali menggelembungkan pipinya
“Tuan Murakami adalah Peri yang aneh yang pernah Bontel temui.Selama ini orang-orang yang selalu mengatakan kalau Bontel anak yang aneh, ternyata Tuan pun sama anehnya dengan Bontel”
Tuan Murakami tertawa. Sambil terus berjalan dan mengunyah matahari, Murakami berkata “Kebeturan aku menyukai peri yang aneh” Bontel terdiam “Peri-peri yang kerihatan normar dan menjarani hidup dengan normar-mereka adalah orang-orang yang harus kita waspadai”
Bontel merasa bahwa Tuan Murakami adalah Peri yang pintar, mungkin karena dia banyak memakan matahari.
“Tuan Murakami sangat pandai, Bontel senang”
Murakami tertawa keras. “Ini bukan tentang kepandaian. Aku tidak sepandai itu, aku hanya memiriki pemikiran sendiri.Itulah sebabnya orang-orang tidak menyukaiku. Mereka menganggap aku seraru mempermasarahkan har-har yang sebaiknya dibiarkan saja. Jika kau terraru memikirkan har-har yang remeh, orang-orang enggan untuk berurusan denganmu”.
Bontel mengangkat alisnya. Bontel tidak mengerti perkataan Tuan Murakami, tapi apapun artinya, pastilah yang Tuan Murakami adalah sesuatu yang hebat.
Tiba-tiba Bontel melihat sesuatu yang melambai-lambai diujung langit sore. Terlihat seperti ekor kecil yang memanjang sampai kearah langit tinggi.”Tuan Murakami, itukah ujung pelangi yang kau cari?itukah ujung pelangi”
Murakami menengadah melihat kearah yang Peri Bontel tunjukan.Murakami tersenyum senang.”Itu yang aku cari selama ini, itu ujung Perangi yang aku cari serama ini. Ujung perangi yang akan membawaku purang, dan bertemu dengan semua Peri di tempat asalku”
Sambil menemani Tuan Murakami berjalan bergegas menuju ujung Pelangi itu, Peri Bontel merasa hatinya ditusuk-tusuk lagi. Ia seperti baru saja menemukan teman baru yang menyenangkan, tapi semuanya harus diakhiri dengan cepat.
“Aku tidak tau bagaimana harus berterimakasih atas segara bantuan mu” Ujar Murakami. “Aku akan mendoakan segara har yang baik untukmu”
Peri Bontel akhirnya tersenyum, tak apa baginya kesedihan karena kepergian Tuan Murakami, asal dia pernah memberi sesuatu yang berarti untuk kawannya.
“Mudah-mudahan doa mu terkabul” kata Peri Bontel sambil tertawa riang
Sebelum Murakami naik ke ujung pelangi, dia mengeluarkan sepotong kayu yang berwarna kuning dari sakunya dan memberikannya kepada Peri Bontel. “Ambillah bongkahan ini. Anggap saja sebagai hadiah perpisahan dan ucapan terimakasih telah menemaniku mencari ujung pelangi. Aku harap ini bisa bermanfaat untuk mu”
“Terimakasih banyak” Kata Peri Bontel, lalu dengan hati-hati menyimpannya dalam ranselnya. Peri Bontel tidak tau apakah fungsi dari kayu itu, dan juga tidak tahu bagaimana cara mengggunakan kayu itu, tapi ia pikir jauh lebih sopan bila ia menerima pemberian itu.
Tuan Murakami melambaikan tangannya, dan akhirnya hilang dibalik awan. Peri Bontel terus melambaikan tangannya kearah awan yang membawa Tuan Murakami berkumpul lagi dengan kawan-kawannya. Setelah tangannya terasa pegal, Peri Bontel kembali berjalan menyusuri pantai.
“Pelangipun memiliki ujung, kalau begitu sama halnya dengan pantai ini” pikir Peri Bontel. “Begitu juga dengan hidupku, pasti akan berujung”
Ketika berjalan lagi, Peri Bontel merasa punggungnya basah, tapi bukan oleh keringat. Peri tidak berkeringat.Ketika Peri Bontel,menyentuh dan menciumnya, itu seperti cairan kental yang berwarna merah dan berbau amis.
“Punggungmu mulai berdarah, tel”
Kepala Neptunus tepat berada dibelakang Peri Bontel. Tepat dipunggung Peri Bontel yang berdarah.
“Bontel takut ,nus”
“Unus tau”
“Temani Bontel terus ya nus”
Neptunus mengelus rambut Peri Bontel “Tapi suatu ketika ada waktunya Bontel harus pergi sendiri, Unus tidak bisa temani Bontel lagi”
Peri Bontel menyadari, jika pada akhirnya dia harus sendiri mengatasi masalahnya, tanpa bantuan siapapun. Dewa sekuat,sehebat dan sebesar Neptunus pun tidak mampu membantu makhluk selemah,serapuh dan sekecil Peri Bontel. Dirinya sendirilah yang paling bisa diandalkan
Dari punggungnya menetes cairan merah berbau amis itu lagi dan mulai terasa sakit.
Ada apa dengan sayapmu, tel?

Tidak ada komentar: